" Kaulah yang pertama ingin
kulihat, saat mentari mulai bersinar...
Kaulah yang terakhir ingin kulihat saat kupejamkan mata... "
Lirik lagu happy ending dari Abdul &
Coffee theory mengalun lembut di handsfree yang terpasang ditelinga kananku
yang seksi (hihihi) ketika mood saya bangkit dari mati surinya, untuk nulis review film " Test
Pack" yang berhasil saya nonton
berkat ajakan nobar dari seorang teman.
Sebenarnya bukan review murni sih, (lalu apa
dong Mhi..?) Yah, jujur saja saya bukan tukang bikin review film yang
handal (ciyuss..?) saya lebih
senang tulisan ini disebut cuap-cuap tentang film (terserah eloee deh mhi..!!)
Begini cuap-cuapnya,
Setelah terpontang-panting dibuat penasaran oleh
beberapa tweet temen yang bercerita tentang film ini, akhirnya Malaikat gaul
yang menjelma dalam wujud salah seorang teman saya, berbaik hati banget
menawarkan satu tiket gratis untuk nonton film ini. Dan sesaat setelah menerima
uluran tiket gratis tersebut, saya pun dengan se-ember Popcorn duduk manis di samping
temansayayangbaikhatiygbelikantiketdanngasihpopcornsatuember untuk
menyaksikan adegan peradegan dalam film "Testpack"
Film yang menurut jutaan sumber diadopsi dari
novel yang berjudul sama, (sayangnya, saya belum pernah baca novelnya) ini
berkisah tentang sepasang suami istri yang sudah nikah selama 7 tahun tapi
belum dikarunia anak. Masalah klasik
sih, dan lumrah banget kayaknya di dunia per-rumah tangga-an jaman
sekarang.
Tapi jangan berpikir film ini akan tampil selumrah-lumrahnya skenario sinetron-sinetron yang menyebar virus ke-lebay-an dalam tiap adegannya. Tak ada adegan nangis yang berlebihan, tak ada mertua yang sadis, tak ada menantu yang mau racuni mertuanya, tak ada rebutan harta gona gini, tak ada adegan perempuan miskin ditabrak pemuda tampan yang kaya raya dan semenit kemudian mereka nikah. Film ini tampil murni dengan realita seada-adanya, dan ini menurut saya point paling bintang di film ini.
Tapi jangan berpikir film ini akan tampil selumrah-lumrahnya skenario sinetron-sinetron yang menyebar virus ke-lebay-an dalam tiap adegannya. Tak ada adegan nangis yang berlebihan, tak ada mertua yang sadis, tak ada menantu yang mau racuni mertuanya, tak ada rebutan harta gona gini, tak ada adegan perempuan miskin ditabrak pemuda tampan yang kaya raya dan semenit kemudian mereka nikah. Film ini tampil murni dengan realita seada-adanya, dan ini menurut saya point paling bintang di film ini.
Adalah Rachmat (Reza Rahadian) dan Tata (Acha
Septriasa), yang sedang berupaya disegala lini buat dapetin momongan diusia
pernikahan mereka yang sudah 7 tahun. Ditambah lagi desakan dari Ibu Mertua
mereka yang sudah ingin sekali punya cucu. Pokoknya segala cara dicoba dari
makan toge sampe suntik hormon, pokoknya asal mereka punya anak deh!
Namun sayang banget, usaha mereka sia-sia. Tata
tak kunjung hamil. Puluhan merek testpack dicoba untuk mengetahui Tata hamil
atau tidak, hasilnya selalu negatif. Bukan salah test packnya memang! :)
Ditengah keputusasaan Tata untuk bisa dihamili
oleh suaminya, (eh kayaknya bahasanya rancu di sini deh, hihihi... ) terkuaklah
fakta yang menyakitkan bahwa ketidakhadiran seorang anak dalam kehidupan rumah
tangga mereka, ternyata disebabkan oleh si suaminya Rachmat, yang ternyata secara hasil medis divonis tak
mampu memberi keturunan. *hugs Reza
Rahadian, eh?*
Tata pun murka, merasa Rachmat sengaja
merahasikan ini semua dari dia. Dan memilih untuk berpisah sementara dengan
Rachmat.
Ditinggal begitu saja oleh Tata, Rachmat yang
putus asa akan kelangsungan rumah tangganya, bertemu dengan Sinta, mantan kekasihnya yang seorang model
yang baru cerai dari suaminya karena tak mampu memberikan keturunan.
Merasa senasib,si Mantan yang diperankan sangat
manis oleh (Renata Kusmanto) berupaya
membangkitkan memory kebersamaan dia dengan Rachmat. Rachmat yang nyaris
terlena dengan kebersamaannya dengan Sinta, terkejut luar biasa ketika
dipergoki oleh Tata yang bermaksud berbaikan dengan Rachmat.
Adegan ini menjadi puncak sepuncak-puncaknya
masalah rumah tangga Tata dan Rachmat. Tak hanya tudingan menyembunyikan
rahasia medis tentang kemampuan reproduksinya, Rachmat pun kembali dituding
selingkuh oleh Tata. Makin mantaplah keinginan Tata untuk cerai dari Rachmat.
Di sinilah pertanyaan dan alasan mengapa mereka
menikah, dipertanyakan, dipertegas kembali oleh keduanya.
Benarkah mereka nikah hanya untuk tujuan untuk
mendapatkan keturunan..?? dan jika tujuan itu tak tercapai, maka usai sudahkah
pernikahan mereka...??
Di bandara, ketika Tata memutuskan ke Thailand
dan bermaksud meninggalkan Rachmat untuk selamanya, dengan sekuat tenaga
Rachmat berusaha menyakinkan Tata untuk tidak meninggalkan.
“ Cinta aja ngga cukup yah, neng…? “ Tanya
Rachmat diujung keputusasaannya menyakinkan Tata untuk tidak berpisah.
Demi apapun, adegan ini sukses menjungkir balikan
perasaan saya sekita. Dan mempertanyakan hal yang sama pada diri saya. “ Apakah
cinta benar-benar tidak cukup…? “
Sampai di adegan tersebut, saya hanya bisa
menghela nafas panjang, betapa film ini
yang semula saya anggap akan biasa saja ternyata mampu menggeser sedikit
pemahaman saya tentang pernikahan.
Dulu saya menganggap kalimat lamaran dengan
ucapan, “ Maukah kau menjadi Ibu dari anak-anak kita kelak…? “ adalah proses lamaran yang maha romantis.
Setelah nonton film ini, semua itu menguap entah kemana dan hanya meninggalkan
satu pertanyaan di kepala saya : “ Kapan nikah, mhi..? “ eh, salah..!! “ Mengapa engkau ingin menikah, Mhi..? “
Yah mungkin kelak jika saya sudah bisa menemukan
jawaban itu, Tuhan pun akan memberikan bonus yang manis untuk saya… ;) #eaa!!
Menutup cuap-cuap tentang film ini, izinkan saya
mengutip kalimat dari penulis novel Test Pack ini, Ninit Yunita :
“
Seringkali kita mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Tidak pernah
terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak berubah—entah jadi jahat, jadi tidak
pintar, atau jadi miskin. Will you still love them, then?“
-MN-
"Apa adanya kamu sudah melengkapai saya neng" Rahmat saat menikah dengan Tata :))
BalasHapus